Dunia kerja/pasar dunia kerja sekarang menghadapi tantangan yang semakin besar. Dua kekuatan besar (Twin Forces/Double Disruption), Revolusi Industri 4.0 dan pandemi Covid-19, membuat kekhawatiran akan teknologi yang mengganti berbagai pekerjaan semakin besar dan mengacaukan semua peta bisnis yang sudah dirancang jauh-jauh hari.

Jutaan orang sudah kehilangan pekerjaan dan jutaan lainnya sedang terancam kehilangan pekerjaan akibat resesi global, perubahan struktur ekonomi dan otomatisasi. Pandemi Covid-19 juga sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka yang kurang beruntung seperti kalangan berpendidikan rendah dan kalangan miskin.

Dunia bisnis sudah melakukan banyak hal dan menggunakan berbagai alat untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Melakukan inovasi teknologi, me-reskill dan upskill individu agar mampu tetap produktif, dan melakukan pemetaan agar pekerja bisa terus beradaptasi terhadap pekerjaan-pekerjaan baru di masa depan. Namun, upaya-upaya itu masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan kecepatan disrupsi itu sendiri.

Laporan World Economic Forum, Future of Jobs Report 2020, bisa kita jadikan panduan dan sumber insights untuk mengarahkan pasar tenaga kerja dan pekerja dalam memanfaatkan berbagai peluang pada masa kini dan masa depan. Pada laporan edisi ketiga itu, terdapat pemetaan pekerjaan dan skill masa depan, melacak perubahan yang terjadi dan arah perjalanan dunia tenaga kerja.


Temuan-temuan Penting

Ada sejumlah temuan-temuan penting, yang sebenarnya sebagian sudah pernah dibahas dalam laporan-laporan sebelumnya. Pertama, adopsi teknologi masih terus berlangsung dan berkembang pesat di sejumlah bidang. Adopsi cloud computing, big data, dan e-commerce menjadi prioritas tertinggi bagi para pemimpin bisnis. Selain itu, ada peningkatan minat pada enkripsi, non-humanoid robots dan artificial intelligence.

Kedua, otomatisasi ditandem dengan resesi akibat Covid-19 menciptakan skenario ‘double disruption’ bagi para pekerja. Adopsi teknologi akan mentransformasi berbagai tugas, pekerjaan dan skill pada tahun 2025. 43% bisnis yang disurvey mengindasikan bahwa mereka akan mengurangi tenaga kerja sebagai akibat dari integrasi teknologi. 41% berencana memperluas penggunaan kontraktor untuk pekerjaan-pekerjaan khusus, dan 34% berencana memperluas tenaga kerja akibat dari integrasi teknologi. Pada tahun 2025, waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan tugas yang dikerjakan manusia dan mesin akan seimbang.

Ketiga, job destruction akan terus berlanjut. Penciptaan pekerjaan baru (job creation) melambat sementara pekerjaan punah (job destruction) semakin meningkat. Pemilik perusahaan memprediksi di tahun 2025, peran-peran yang tumpang tindih dalam tenaga kerja akan berkurang dari 15,4% menjadi 9%, dan profesi-profesi baru (emerging professions) akan bertumbuh dari 7,8% menjadi 13,5%. Dari data yang dikumpulkan, diprediksi pada tahun 2025, 85 juta pekerjaan akan tergeser akibat perubahan pembagian kerja antara manusia dengan mesin. Sementara 97 juta peran baru (new roles) akan muncul, dimana peran-peran itu akan lebih adaptif terhadap pembagian kerja yang baru antara manusia, mesin, dan algoritma.

Keempat, critical thinking & analysis, problem solving, keahlian-keahlian di bidang self-management makin dibutuhkan. Kesenjangan keterampilan (skill gaps) akan tinggi mengingat in-demand skills di berbagai pekerjaan terus berubah hingga lima tahun mendatang. Skill-skill seperti critical thinking and analysis, problem solving, dan skills di bidang self-management (active learning, resilience, stress tolerance and flexibility), menjadi skill-skill yang dibutuhkan oleh pemberi kerja. Secara umum, perusahaan-perusahaan memprediksi bahwa sekitar 40% tenaga kerja perlu reskilling setiap enam bulan atau kurang dan 94% pemimpin bisnis berharap para pekerjanya memiliki skill-skill baru di pekerjaannya. Angka ini meningkat drastis dari 65% di tahun 2018.

Kelima, pekerja bergaji rendah, perempuan, pekerja usia muda paling terdampak resesi. Pekerjaan-pekerjaan yang dimiliki oleh pekerja bergaji rendah, perempuan dan pekerja usia muda, lebih terdampak dari fase pertama kontraksi ekonomi.

Keenam, online learning terus meningkat. Online learning and training terus meningkat namun tampak berbeda di sisi mereka yang bekerja dan tidak bekerja (menganggur). Mereka yang bekerja lebih menyukai personal development courses. Sementara mereka yang tidak bekerja (menganggur) lebih menyukai belajar keahlian-keahlian digital seperti data analysis, computer science dan information technology.

Ketujuh, peluang untuk reskill dan upskill tenaga kerja semakin sempit. Ini berlaku untuk pekerja yang cenderung tetap dalam peran (role) mereka serta pekerja yang berisiko kehilangan peran mereka karena meningkatnya pengangguran terkait resesi dan tidak dapat lagi berharap untuk dilatih ulang di tempat kerja. Bagi pekerja yang tetap dalam peran mereka, pangsa keterampilan inti yang akan berubah dalam lima tahun ke depan adalah 40%, dan 50% dari semua karyawan akan membutuhkan reskilling (naik 4%).

Kedelapan, human capital investment tetap penting. Meskipun ekonomi saat ini menurun, mayoritas pemberi kerja tetap memandang pentingnya nilai dari human capital investment. Sekitar 66% pemberi kerja berharap mendapatkan return on investment dari upskilling and reskilling dalam waktu satu tahun. Namun satu tahun itu menjadi terasa lama bagi banyak pemberi kerja karena sedang menghadapi guncangan ekonomi dan sekitar 17% merasa tidak yakin akan mendapatkan return dari investasi mereka. Rata-rata, pengusaha berharap untuk menawarkan reskilling dan upskilling untuk lebih dari 70% karyawan mereka pada tahun 2025. Namun, keterlibatan karyawan ke dalam kursus-kursus yang ada, cenderung mandek, sebab hanya 42% karyawan yang mengambil peluang reskilling dan upskilling yang didukung oleh perusahaan.

Prospek Pasar Tenaga Kerja di Tengah Pandemi

Data baru dari survey The Future of Jobs menunjukkan, hingga 2025, rata-rata 15% dari tenaga kerja perusahaan berisiko mengalami disrupsi, dan rata-rata 6% pekerja diperkirakan akan kehilangan posisinya.

Laporan ini memproyeksikan bahwa dalam jangka menengah, job destruction kemungkinan besar akan diimbangi oleh pertumbuhan pekerjaan di ‘jobs of tomorrow’ – melonjaknya permintaan bagi pekerja yang dapat mengambil peran di garis depan data dan ekonomi AI, begitu pula dengan peran baru dalam teknik, komputasi awan dan pengembangan produk.

Selain itu, perusahaan yang ingin memberikan peluang reskilling dan upskilling kepada sebagian besar karyawan mereka (73%), mengetahui fakta bahwa, pada tahun 2025, 44% dari keterampilan yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan peran mereka secara efektif akan berubah.

Di seluruh negara, penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan permintaan untuk pekerjaan-pekerjaan di bidang analitik non rutin disertai dengan otomatisasi yang signifikan dari pekerjaan manual rutin.

Menurut data tren pekerjaan di Amerika Serikat kurun waktu 2007-2018, hampir 2,6 juta pekerjaan tergantikan selama rentang satu dekade (Figure 1).

Pandemi Covid-19 juga menciptakan pergeseran pasar tenaga kerja. Pengusaha berupaya mempercepat otomatisasi pekerjaan dan agenda augmentasi mereka (Figure 5). Di antara para pemimpin bisnis yang disurvei, lebih dari 80% menyatakan bahwa mereka mempercepat otomatisasi proses kerja dan memperluas penerapan remote work mereka. Selain itu, lebih dari seperempat pengusaha berharap untuk sementara mengurangi tenaga kerja mereka, dan satu dari lima mengharapkan untuk melakukannya secara permanen.

Remote Work

Sebagai dampak dari Revolusi Industri 4.0 dan resesi akibat Covid-19, digitalisasi melompat lebih jauh, terjadi pergeseran besar ke remote working dan e-commerce. Pekerja sekarang diminta untuk work-from-home. Keadaan ini menciptakan tantangan baru seputar well-being karyawan karena mereka harus beradaptasi dengan cara kerja yang baru dalam waktu yang singkat.

Dalam konteks pandemi Covid-19, pekerja dibagi dalam 3 kategori yakni 1) Essential Workers seperti kurir, pekerja kesehatan, pekerja restoran, pekerja pertanian, dan produsen alat-alat kesehatan. 2) Remote workers, yang bisa bekerja di luar kantor dan berpeluang untuk tetap memegang pekerjaannya. 3) Displace workers, yang sudah digeser dari pekerjaannya, dan paling terdampak oleh resesi akibat pandemi seperti perhotelan dan restoran, retail, jasa, dan pariwisata.

Sektor-sektor yang mempunyai peluang besar untuk remote work diantaranya, Finance and Insurance Industries (74%), Legal Work, dan Business Service. Sedangkan sektor-sektor yang sulit untuk melakukan remote work diantaranya, Accomodation & Food Services, Agriculture, Retail, Construction, Transportation, dan Warehousing.

Ada beberapa data statistik yang cukup menarik terkait dengan pandemi covid-19 dan work from home ini. Pertama, makin rendah GDP Per Capita (USD) sebuah negara, makin banyak pekerja yang tidak bisa work from home. Misalnya Bangladesh, Egypt, dan Mexico (Figure 8).

Kedua, pekerja di sektor Accomodation & Food Services (47%), paling berpeluang untuk kehilangan pekerjaan (Figure 9).

 

Ketiga, permintaan untuk remote working semakin meningkat namun sayangnya para pemimpin bisnis tidak yakin akan productivity outcome dari remote/hybrid work. Secara keseluruhan, 78% pemimpin bisnis menilai ada negative impact on worker productivity. Kemudian ada 22% pemimpin bisnis yang menilai ada strong negative impact on worker productivity dan hanya 15% yang percaya ada no impact/positive impact on worker productivity. (dap)

Lanjut: Future of Jobs dan Double Disruption (Bagian Kedua)

Author

Perform training need analysis Design Program Content Development Handling training implementation and training evaluation Specialties: Program Design & Content Development

Write A Comment